Tolongshareya
– Sahabat tolongshareya Suami maupun istri, masing-masing memiliki hak dan
kewajiban yang sebanding dengan posisinya. Karena itu, bentuk hak dan tanggung
jawab masing-masing berbeda. Kaidah baku ini Allah nyatakan dengan tegas dalam
al-Quran,
وَلَهُنَّ مِثْلُ
الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Para
istri memiliki hak yang sepadan dengan kewajibannya, sesuai ukuran yang wajar.”
(QS. al-Baqarah: 228).
Diantara
tanggung jawab terbesar suami adalah memberi nafkah istri. Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّسَاءِ
بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ
عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS.
An-Nisa’: 34).
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan,
فاتَّقوا الله
في النِّساء؛
فإنَّكم أخذتموهنَّ
بأمانة الله،
واستحْلَلْتم فروجَهنَّ
بكلمة الله،
ولهُنَّ عليكم
رزقُهن وكسوتُهن
بالمعروف
“Bertaqwalah
kepada Allah dalam menghadapi istri. Kalian menjadikannya sebagai istri dengan
amanah Allah, kalian dihalalkan hu*bungan dengan kalimat Allah. Hak mereka yang
menjadi kewajiban kalian, memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang
sewajarnya.” (HR. Muslim No.3009).
Karena
itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi ancaman keras bagi suami yang
tidak memperhatikan nafkah istrinya. Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كفى بالمرْء
إثمًا أن
يضيِّع مَن
يقوت
“Seseorang
dikatakan berbuat dosa, ketika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia
nafkahi.” (HR. Abu Daud No.1694, Ibnu Hibban No.4240 dan dishahihkan oleh
Syuaib al-Arnauth).
Ibnu
Qudamah menyebutkan,
اتَّفق أهلُ
العلم على
وجوب نفقات
الزَّوجات على
أزْواجِهن، إذا
كانوا بالغين؛
إلا النَّاشزَ
منهنَّ، ذكره
ابن المنذر
وغيرُه
“Ulama
sepakat suami wajib memberi nafkah istri, jika suami telah berusia baligh.
Kecuali untuk istri yang nusyuz (membangkang). Demikian yang disebutkan Ibnul
Mundzir dan yang lainnya.” (al-Mughni, 9/230).
Tanggung Jawab Istri
Sebaliknya,
istri diperintahkan untuk mentaati suaminya. Selama suami tidak memerintahkan
untuk maksiat.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا صَلَّتِ
الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا
وَصَامَتْ شَهْرَهَا
وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا
وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا
قِيلَ لَهَا
ادْخُلِى الْجَنَّةَ
مِنْ أَىِّ
أَبْوَابِ الْجَنَّةِ
شِئْتِ
“Jika
seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa pada bulan
Ramadhan, menjaga kema*luannya, dan mentaati suaminya, maka dia dipersilahkan
untuk masuk surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki.” (HR Ahmad No.1683,
Ibnu Hibban No.4163 dan dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan,
وليس على
المرأة بعد
حق الله
ورسوله أوجب
من حق
الزوج
“Tidak
ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan
Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ al-Fatawa, 32/260)
Ketika Kewajiban Tidak
Ditunaikan
Sahabat
tolongshareya ketika salah satu tidak memenuhi kewajiban, maka yang terjadi
adalah kedzaliman. Suami yang tidak memenuhi kewajibannya, dia mendzalimi
istrinya dan sebaliknya.
Hanya
saja, dalam keluarga, Islam tidak mengajarkan membalas pengkhianatan dengan
pengkhianatan. Karena masing-masing akan mempertanggung jawabkan tugasnya di
hadapan Allah kelak di hari kiamat.
Sehingga,
ketika suami tidak melaksanakan kewajibannya untuk istrinya, Islam tidak
mengajarkan agar tindakan itu dibalas dengan meninggalkan kewajibannya. Karena
yang terjadi, justru timbul masalah baru.
Syaikh
Khalid bin Abdul Mun’im ar-Rifa’i mengatakan,
فإذا قصَّر
أحدُ الزَّوجيْن
في حقِّ
الآخر، فليس
للآخَر أن
يقصِّر في
حقِّه، فكلٌّ
مسؤول عن
تقْصيره يوم
القيامة.
“Jika
salah satu pasangan tidak menunaikan kewajibannya kepada yang lain, bukan
berarti dia harus membalasnya dengan tidak menunaikan kewajibannya kepada
pasangannya. Karena masing-masing akan dimintai pertanggung jawaban disebabkan
keteledorannya, pada hari kiamat.”
Pelanggaran
yang dilakukan oleh suami, tidak boleh dibalas dengan pelanggaran dari istri.
Sehingga dua-duanya melanggar.
Karena
itu, solusi yang diberikan pelanggaran balas pelanggaran, tapi diselesaikan
dengan cara yang baik, antara bersabar atau pernikahan dihentikan.
Lalu
apa yang harus dilakukan wanita? Syaikh ar-Rifa’i melanjutkan,
وفي حالة
تقْصير الزَّوج
في الإنفاق،
فالمرأة مخيَّرة
بين أن
تصبِر على
ذلك، وبين
أن تطلُب
الطَّلاق، فإنِ
اختارت الصَّبر،
فإنَّه يَجب
عليْها أن
تُطيع زوْجَها،
ويَجب عليها
أن تؤدِّي
كلَّ الحقوق
الواجبة عليْها
لزوجها، ومن
ذلك حقُّه
في الفراش،
وإنِ اختارت
الطَّلاق لَم
تأثم بذلك
“Ketika
suami tidak menafkahi istrinya, ada dua pilihan untuk si wanita, antara
bersabar atau melakukan gugat cerai. Jika dia pilih bersabar, maka istri wajib
untuk memenuhi kewajibannya kepada suaminya. Termasuk hak untuk melayani di ran*jang.
Dan jika istri memilih talak, dia tidak berdosa.”
Al-Qurthubi
mengatakan,
فهِم العُلماء
من قوله
تعالى: {وَبِمَا
أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ} أنَّه
متى عجَز
عن نفقتها
لم يكن
قوَّامًا عليها،
وإذا لم
يكن قوَّامًا
عليها، كان
لها فسخ
العقد لزوال
المقْصود الذي
شرع لأجْلِه
النكاح
“Para
ulama memahami dari firman Allah, ‘Disebabkan mereka menginfakkan harta
mereka.’ bahwa ketika seorang suami tidak mampu memberikan nafkah istrinya, dia
tidak disebut pemimpin bagi istrinya. Jika suami tidak lagi menjadi pemimpin
bagi istrinya, maka istri berhak untuk melakukan gugat cerai. Karena tujuan
nikah dalam kasus ini telah hilang.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/168).
Ibnul
Mundzir mengatakan,
ثبت أنَّ
عمر كتبَ
إلى أُمراء
الأجناد أن
ينفقوا أو
يطلِّقوا
“Terdapat
riwayat shahih bahwa Umar menulis surat untuk para panglima perang, agar para
suami memberikan nafkah istrinya atau mentalak mereka.” (Dinukil dari Subul
as-Salam, 3/224). Allahu a’lam.
Semoga
bermanfaat.
Sumber: muslimah.or.id