Tolongshareya
– Sahabat tolongshareya memang sudah diketahui bahwa seorang laki-laki memang
diperbolehkan untuk menikah lebih dari satu. Rasulullah SAW seperti diketahui
memiliki istri lebih dari empat, bahkan dalam riwayat tertentu ada yang
menyebutkan bahwa istri nabi itu berjumlah sebelas orang.
Fakta
tersebut kontan memunculkan sejumlah kritikan dari pihak-pihak tertentu. Mereka
beranggapan, pernikahan tersebut kontradiktif dengan tuntunan ajaran Islam
sendiri yang membatasi pernikahan hanya empat istri saja, seperti ditegaskan
dalam surah an-Nisaa’ ayat 3.
Namun,
menurut Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, sebagaimana dikutip dari Republika,
persepsi negatif itu mudah dipatahkan dengan sejumlah argumentasi yang cukup
logis dan rasional.
Ada
tiga alasan sederhana mengapa Rasulullah memutuskan untuk menikahi lebih dari
empat istri.
1. Faktor Sosial
Rasulullah
dan Khadijah, ketika mereka menikah memiliki selisih umur yang cukup jauh. Kala
itu Rasulullah berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah sudah menginjak 40 tahun.
Kemudian
pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zam’ah—yang berstatus janda anak
empat—adalah dengan tujuan mencarikan ibu pendamping yang bisa mengurus keempat
anaknya tersebut.
Pernikahan
Rasul dengan Khafshah binti Umar bin Khattab, adalah untuk menghormati Umar,
pernikahannya dengan Zainab bin Khuzaimah adalah untuk mengayomi Zainab yang
ditinggal syahid suaminya saat Perang Uhud.
Sementara
saat menikahi Ummu Salamah adalah lantaran ia ditinggal wafat sang suami
sementara ia memiliki banyak anak.
Terlihat
dari pernikahan tersebut, Rasul menikahi para istri yang ditinggal suami
mereka, entah karena syahid berperang atau akibat sakit, agar bisa memberikan
pengayoman dan mengurus anak-anak mereka.
2. Faktor
Transendental (Ilahiyah)
Pernikahan
Rasul dengan Aisyah RA, berangkat dari wahyu yang datang dari mimpi. Sementara,
pernikahan Rasul dengan Zainab binti Jahsy—yang tak lain adalah istri dari Zaid
bin Haritsah, anak angkat Rasulullah—adalah bagian dari legalisasi hukum
syariat tentang status anak angkat.
Peristiwa
tersebut terjadi pada tahun kelima hijrah. Alquran mencatat status hukum anak
angkat dalam surah al-Ahzab ayat 4 dan 5.
3. Faktor Politik
Pernikahan
tersebut dilakukan untuk mempererat persatuan dan menghindari permusuhan, atau
membebaskan tahanan.
Di
antaranya, pernikahan beliau dengan Juwairiyah binti al-Harits, pemuka Bani
Mushthaliq dari Khaza’ah, yang ditahan umat Islam.
Sementara
pernikahan beliau dengan Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan memiliki pengaruh
besar terhadap islamisasi dan mengikis perlawanan Abu Sufyan terhadap Islam.
Jadi,
tuduhan bahwa pernikahan tersebut dilandasi naf*su bi*rahi adalah tuduhan tidak
berdasar. Para perempuan tersebut rata-rata berstatus janda dan memiliki anak
cukup banyak.
Dan,
di antara hikmah lain dari pernikahan mulia tersebut adalah penghormatan dan
meningkatnya derajat kabilah Arab lantaran istri-istri tersebut berada dalam
pengayoman dan suasana Ahlul Bait yang dimuliakan Allah SWT.
وَاذْكُرْنَ مَا
يُتْلَىٰ فِي
بُيُوتِكُنَّ مِنْ
آيَاتِ اللَّهِ
وَالْحِكْمَةِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ
كَانَ لَطِيفًا
خَبِيرًا
“Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah
Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS
al-Ahzab [33]: 34).
Semoga
bermanfaat.
Sumber: islampos.com