Taaruf atau pacaran???



Tolong Share - Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya,Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah (Pernikahan) - taaruf dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal




Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Ta’aruf cuman buat orang yang mau nikah doang kan? Gimana kalo sepasang remaja dia dekat. Tapi kalo ditanya tentang hubungan mereka, mereka cuma jawab lagi ta’arufan..Kalo gitu gimana? Wassalamu’alaikum.
(Qulub)
Jawab:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya, terima kasih atas pertanyaannya. Perlu dimengerti bahwa ta’aruf adalah proses saling mengenal antara dua orang lawan jenis yang ingin menikah. Jika diantara mereka berdua ada kecocokan maka bisa berlanjut ke jenjang pernikahan, namun, jika tidak, maka proses berhenti dan tidak berlanjut.
Islam tidak melarang ta’aruf ini, dalam sebuah hadits disebutkan, “Dari Anas bin Malik bahwa al-Mughirah bin Syu’bah ingin menikah dengan wanita, maka Rasulullah Ṣallāllāhu‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Pergi lalu lihatlah dia, sesungguhnya hal itu menimbulkan kasih sayang dan kedekatan antara kalian berdua.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no.1938 dan dinilai shahih oleh Syekh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah)
Dan saat seorang lelaki ingin melihat wanita yang ia lamar, maka ia harus memperhatikan rambu-rambu nazhar yang telah dijelaskan oleh Syekh Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumti’ XII/22 sebagai berikut:
  1. Tidak berkhalwat (berdua-duan) dengan seorang wanita tatkala memandangnya. Untuk menjauhi khalwat ketika nazhar, maka ia bisa melihat wanita yang ingin ia pinang ditemani wali si wanita atau jika tidak mampu maka ia bisa bersembunyi dan melihat wanita tersebut di tempat di mana ia sering melalui tempat tersebut.
  2. Hendaknya memandang dengan tanpa syahwat, karena nazhar (memandang) wanita ajnabiyah karena syahwat diharamkan. Selain itu, tujuan dari melihat calon istri adalah untuk mengetahui kondisinya bukan untuk menikmatinya.
  3. Hendaknya ia memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima lamarannya.
  4. Hendaknya ia memandang kepada apa yang biasanya nampak dari tubuh sang wanita, seperti muka, telapak tangan, leher, dan kaki.
  5. Hendaknya ia benar-benar bertekad untuk melamar sang wanita. Yaitu hendaknya pandangannya terhadap sang wanita itu merupakan hasil dari keseriusannya untuk maju menemui wali wanita tersebut untuk melamar putri mereka. Adapun jika ia hanya ingin berputar-putar melihat-lihat para wanita satu per satu, maka hal ini tidak diperbolehkan.
  6. Hendaknya sang wanita yang dinazhar tidak berhias, memakai wangi-wangian, memakai celak, atau yang sarana-sarana kecantikan yang lainnya.
Oleh karena itu, apa yang dikatakan tersebut tidaklah benar. Kami berhusnuzhan bahwa yang mengatakan tersebut memang belum paham makna ta’aruf secara syariat. Sebab, jika sudah memahami namun malah mengatakan demikian, kami khawatir yang mengatakan tersebut terjatuh dalam dosa besar: memperolok agama (istihzaa’).
Istihzaa’, secara bahasa artinya sukhriyah, yaitu melecehkan. Ar-Raghib al-Ashfahani berkata, “Al-huzu’, adalah senda gurau tersembunyi. Kadangkala disebut juga senda gurau atau kelakar”.
Al-Baidhawi berkata, “Istihzaa’”, artinya adalah pelecehan dan penghinaan. Dapat dikatakan haza’tu atau istahza’tu. Kedua kata itu sama artinya. Seperti kata ajabtu dan istajabtu.”
Dari penjelasan itu, dapat diketahui makna istihzaa’, yaitu pelecehan dan penghinaan dalam bentuk olok-olokan dan kelakar.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بَمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِءُوا إِنَّ اللهَ مُخْرِجُ مَاتَحْذَرُون
Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: ‘Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya)’. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.” (QS. At-Taubah: 64).
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja’. Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok? “ (QS. At-Taubah: 65).
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. “ (QS. At-Taubah: 66).
Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang munafik terhadap Allah, Rasulullah dan kaum mukminin. Kebencian yang selama ini mereka pendam, terlahir dalam bentuk ejekan dan olok-olokan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir mencantumkan sebuah riwayat dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dan lainnya yang menjelaskan kepada kita bentuk pelecehan dan olokan mereka terhadap Allah, Rasul-Nya dan ayat-ayat-Nya.
Ia berkata, “Seorang lelaki munafik mengatakan, “Menurutku, para qari’ (pembaca) kita ini hanyalah orang-orang yang paling rakus makannya, paling dusta perkataanya, paling penakut di medan perang.”
Sampailah berita tersebut kepada Rasulullah Ṣallāllāhu‘alaihi wa sallam, lalu orang munafik itu menemui Beliau, sedangkan Beliau sudah berada di atas untanya bersiap-siap hendak berangkat. Ia berkata, “Wahai Rasulullah. Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Maka turunlah firman Allah.
Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?
Sesungguhnya kedua kakinya tersandung-sandung batu, sedangkan Rasulullah Ṣallāllāhu‘alaihi wa sallam tidak menoleh kepadanya, dan ia bergantung di tali pelana Rasulullah Ṣallāllāhu‘alaihi wa sallam.
Ayat ini menjelaskan hukum memperolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya, agama-Nya dan syiar-syiar agama, yaitu hukumnya kafir. Barangsiapa memperolok-olok Rasul-Nya, berarti ia telah memperolok-olok Allah. Barangsiapa memperolok-olok ayat-ayat-Nya, berarti ia telah memperolok-olok Rasul-Nya. Barangsiapa memperolok-olok salah satu darinya, berarti ia memperolok-olok seluruhnya. Perbuatan yang dilakukan oleh kaum munafikin itu adalah memperolok-olok Rasul dan sahabat Beliau Ṣallāllāhu‘alaihi wa sallam, lalu turunlah ayat ini sebagai jawabannya.
Sikap memperolok-olok syiar agama bertentangan dengan keimanan. Dua sikap ini, dalam diri seseorang, tidak akan bisa bertemu. Oleh karena itu, Allah menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syiar-syiar agama berasal dari ketaatan hati. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32).
Saudaraku, permasalah yang berkenaan dengan memperolok-olok agama terbagi menjadi dua macam:
  1. Istihzaa’ sharih, yaitu memperolok-olok agama dengan secara jelas dan terang-terangan. Sebagai contoh ucapan mereka para munafikin kepada Rasulullah Ṣallāllāhu‘alaihi wa sallam di suatu majelis pada perang Tabuk, “Tidaklah kami melihat orang yang lebih mementingkan perutnya, lebih berdusta ucapannya, dan lebih penakut ketika berjumpa dengan musuh daripada mereka para pembaca-pembaca Al-Quran (yakni Rasulullah Ṣallāllāhu‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya)”,atau seperti ucapan mereka lainnya yang menyatakan: ‘Agama tidaklah diukur dengan jenggot’, yakni karena permasalahan cukur jenggot, dan masih banyak lagi yang semisal dengan itu.
  2. Istihzaa’ ghairu sharih yaitu memperolok-olok agama dengan perbuatan yang menunjukkan isyarat maupun sindiran (tidak jelas atau tidak terang-terangan), seperti dengan memicingkan mata, menjulurkan lidah dan membentangkan bibir dan lain-lainnya yang bertujuan untuk merendahkan sesuatu dari agama. (Lihat Kitabut Tauhid DR.Shalih Fauzan hal 43, dan Malzamah Syarh Nawaqidul Islam, Abi Ubaidah).
Untuk itu saudaraku, hendaknya kita berhati-hati dengan ucapan maupun perbuatan yang bisa masuk ke dalam istihzaa’ ini. Sebab, dengan hanya bercanda bisa menyeret pelakunya ke jurang neraka.
Selanjutnya, dalam Islam tidak ada istilah pacaran, baik itu pacaran biasa maupun pacaran islami. Hubungan terhadap lawan jenis sangat dijaga dalam agama kita. Dan pergaulan bebas semacam itu hanya akan membuat kesengsaraan dan kenistaan.
Dan pada akhirnya, akibat-akibat yang sering dijumpai dari pacaran adalah perzinaan, hamil di luar nikah yang merusak nasab, aborsi, bahkan bunuh diri maupun kematian. Na’udzu billah min dzalik. Semoga Allah menjaga kita dari jerat-jerat zina yg berwujud pacaran.
***
(Diketik ulang dari Majalah Sakinah Volume 14 No.5)
Sumber : muslimah.or.id/7984-pacaran-atau-taaruf.html

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Taaruf atau pacaran???