Tolong share -
Sahabat tolong share, Akhir akhir ini ada pemberitaan tentang adanya
vaksin imunisasi seperti polio yang di duga berasal dari enzim babi. Babi jelas
najis dan termasuk hewan yang haram dikonsumsi. Taruhlah jika pernyataan atau
isu ini benar, lalu bagaimana hukum fikih dalam masalah ini? Karena masalah ini
menjadi polemik hingga saat ini. Sampai-sampai sebagian orang enggan bahkan
menyalah-nyalahkan orang yang mengambil keputusan untuk ikut imunisasi.
Baiklah ada dua kaedah terlebih dahulu yang akan kami utarakan. Lalu kami
tutup dengan fatwa dari Majelis Ulama Eropa akan hal ini. Allahumma yassir
wa a’in …
Memahami kaedah
pertama: Istihalah
Istihalah secara bahasa memiliki dua makna. Salah satu maknanya
adalah,
تغيّر الشّيء عن طبعه ووصفه
“Berubahnya sesuatu dari tabi’at asal atau sifatnya
yang awal.”
Yang termasuk dalam istihalah adalah berubahnya sesuatu yang najis. Istihalah
atau perubahan tadi bisa terjadi pada kondisi apa saja? Istihalah bisa
terjadi pada ‘ain (zat) najis, seperti kotoran, khomr (bagi yang mengatakannya
najis), dan babi. Istihalah bisa terjadi pula pada ‘ain (zat) najis yang
berubah sifat-sifatnya. Bisa jadi dia berubah karena dibakar atau karena
berubah menjadi cuka. Atau mungkin perubahan itu terjadi karena ada sesuatu
yang suci yang bercampur dengannya. Seperti contohnya babi yang najis yang
jatuh dalam garam, akhirnya menjadi garam.
Para ulama telah menyepakati bahwa apabila khomr berubah menjadi cuka
dengan sendirinya (karena dibiarkan begitu saja), maka khomr tersebut menjadi
suci. Namun para ulama berselisih jika khomr tadi berubah menjadi cuka melalui
suatu proses tertentu.
Adapun untuk najis yang lainnya, apabila ia berubah dari bentuk asalnya,
maka para ulama berselisih akan sucinya.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad,
menyatakan bahwa najis pada ‘ain (dzat) dapat suci dengan istihalah.
Jika najis sudah menjadi abu, maka tidak dikatakan najis lagi. Garam (yang
sudah berubah) tidak dikatakan najis lagi walaupun sebelumnya berasal dari
keledai, babi atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis
jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah. Misal yang lain, khomr ketika berubah
menjadi cuka baik dengan sendirinya atau dengan proses tertentu dari manusia
atau cara lainnya, maka itu juga dikatakan suci. Hal ini semua dikarenakan zat
yang tadi ada sudah berubah. Aturan Islam pun menetapkan bahwa sifat najis jika
telah hilang, maka sudah dikatakan tidak najis lagi (sudah suci).
Jadi jika tulang dan daging berubah menjadi garam, maka yang dihukumi
sekarang adalah garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan tulang dan
daging tadi.
Perkara semisal ini amatlah banyak. Intinya, istihalah pada zat
terjadi jika sifat-sifat najis yang ada itu hilang.
Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat, najis ‘ain
(zat) tidaklah dapat suci dengan cara istihalah. Jika anjing atau
selainnya dilempar dalam garam, akhirnya mati dan jadi garam, maka tetap
dihukumi najis. Begitu pula jika ada uap yang berasal dari api yang bahannya
najis, lalu uap itu mengembun, maka tetap dihukumi najis.
Dikecualikan dalam masalah ini adalah untuk khomr, yaitu khomr yang berubah
menjadi cuka dengan sendirinya, tidak ada campur tangan. Cuka yang berasal dari
khomr seperti itu dianggap suci. Alasan najisnya khomr tadi adalah karena
memabukkan. Saat jadi cuka tentu tidak memabukkan lagi, maka dari itu dihukumi
suci. Hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama).
Adapun jika khomr berubah menjadi cuka dengan proses tertentu misalnya ada
gas yg masuk, maka ketika itu tidaklah suci.
Dari perselisihan di atas, pendapat yang rojih (kuat) dalam
masalah ini adalah yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah
(dengan istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.
Di antara alasannya adalah karena hukum itu berputar pada ‘illah-nya
(alasan atau sebab). Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Jika sifat-sifat
najis telah hilang, maka hukum najis itu sudah tidak ada. Demikianlah yang
dijelaskan dalam kaedah ushuliyah,
الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ ثُبُوْتًا وَعَدَمًا.
“Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu
ada. Begitu sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada.”
Pendapat inilah yang lebih tepat, apalagi diterapkan di zaman saat ini. Kita
masih ingat bahwa minyak bumi itu asalnya dari bangkai hewan yang terpendam
ribuan tahun. Padahal bangkai itu jelas najis. Jika kita katakan minyak bumi,
itu najis karena berpegang pada pendapat Syafi’iyah dan Hambali, maka jadi
problema untuk saat ini.
Jika seseorang memahami kaedah istihalah ini, ia akan tahu
bagaimanakah menghukumi suatu najis apabila najis tersebut sudah berubah
menjadi benda lain yang tidak nampak lagi atsar-atsarnya
(bekas-bekasnya). Kaedah ini berlaku pula dalam masalah vaksinasi dari enzim
babi.
Memahami kaedah kedua: Istihlak
Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau
najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak
sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis,
baik rasa, warna dan baunya.
Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut menjadi suci?
Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci.
Alasannya adalah dua dalil berikut.
Hadits pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَاءُ
طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”
Hadits kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا بَلَغَ
الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi
kotoran (najis).”
Dua hadits di atas menjelaskan bahwa apabila benda yang najis atau haram
bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak
menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.
Jadi suatu saat air yang najis, bisa berubah menjadi suci jika bercampur
dengan air suci yang banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya berada
dalam keadaan najis tanpa perubahan. Tepatlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah,
“Siapa saja yang mau merenungkan dalil-dalil yang
telah disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas
baginya bahwa pendapat inilah yang lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada air
atau benda cair yang tidak mungkin mengalami perubahan menjadi suci (tetap
najis). Ini sungguh bertentangan dengan dalil dan akal sehat. Jika ada yang
menganggap bahwa hukum najis itu tetap ada padahal (sifat-sifat) najis telah
dihilangkan dengan cairan atau yang lainnya, maka ini sungguh jauh dari
tuntutan dalil dan bertentangan dengan qiyas yang bisa digunakan.”
Catatan:
Kaedah di atas jadi tidak berlaku, jika berdasarkan pernyataan para pakar
yang ada bahwa enzim tripsin pada imunisasi atau vaksinasi hanya berupa
katalisator. Katalisator atau enzim hanyalah menjadi pemicu reaksi, dan bukan
menjadi bagian dari vaksin. Sehingga jika berasal dari babi sekali pun,
campuran tersebut sudah hilang. Coba pahami baik-baik maksud katalisator.
Banyak penjelasan dari berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt.,
MM, -Direktur Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah satu perusahaan
pembuat vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih
digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau
mengatakan,
“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung
berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan halal stetalh
diproses”. Beliau juga mengatakan, “Dalam proses pembuatan vaksin, enzim
tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan
sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya [vaksin],
enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak
terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan
penyaringan.” [sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]
Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena
minimal bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang
biasa memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang
haram dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci
dalam beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal
tiga hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya
hilang.
Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ ثَلَاثَةً إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ بَيْضَهَا
”Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mengurung
[mengkarantina] ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari jika beliau
ingin memakan telurnya.” [Mushannaf Abdurrazaq no. 8717]
Kalau saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis -karena
makanannya kelak akan menjadi darah dan daging- saja bisa dimakan, maka jika
hanya sebagai katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan,
lebih layak lagi untuk dipergunakan atau minimal sama. [Dinukil dari http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-vaksinasi.html]
Fatwa Majelis Ulama Eropa
Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban
untuk masalah vaksin yang digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio. Vaksin
ini menggunakan enzim yang disebut tripsin dan diambil dari babi. Jumlah
tripsin yang ditambahkan konsentrasinya sangat rendah. Tripsin ini nantinya
akan hilang, tidak tersisa lagi. Kemudian tumbuh virus polio untuk bereproduksi
dan akhirnya jadilah vaksin yang diberikan tiga tetes untuk setiap anak dalam
mulut. Karena alasan inilah sebagian orang apalagi di Asia Timur karena dalam
rangka hati-hati, mereka melarang mengonsumsi vaksin semacam ini untuk
anak-anak muslim karena tripsin itu berasal dari babi.
Dalam masalah di atas, Majelis Ulama Eropa memutuskan dua hal:
Yang Pertama:
Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat
semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan
izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga
saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam
rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena
mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam
bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan
yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan
najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur
dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal
darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di
antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta
menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Yang Kedua:
Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah
posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak
ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan
dalil yang definitif (qoth’i).
Di Antara Alasan Pro Vaksinasi
- Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil membawa virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan vaksin.
- Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi wabah seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung yg telah mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas kesahatan yang menangani. Jika tidak ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan masyarakat sekitar.
- Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di zaman modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi terpapar penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.
- Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap kondisi ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin serta jadwal yang benar sesuai kondisi setiap orang.
- Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan metodologi yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Penyebab autis itu multifaktor (banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya masih harus diteliti.
- Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-kontra juga. Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi kebebasan memilih. Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan vaksin sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakatnya.
- Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu atau tidak sama sekali? Karena standar kesehatan mereka sudah lebih tinggi, lingkungan bersih, epidemik (wabah) penyakit infeksi sudah diberantas, kesadaran dan pendidikan hidup sehatnya tinggi. Mereka sudah mengkonsumsi sayuran organik. Bandingkan dengan negara berkembang. Sayuran dan buah penuh dengan pestisida jika tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat pengawet, pewarna, pemanis buatan, mie instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita mau masuk ke beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu. Karena mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman penyakit dari negara kita.
- Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin halal karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksin. Contohnya Fatwa MUI yang menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus segera dicegah karena sudah banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC.
Semoga artikel ini
bermanfaat bagi sahabat pembaca tolong share, terima kasih sudah membacanya,
semoga kita selalu mendapat pertolongan Allah SWT, Hanya Allah pemberi taufik
dan hidayah
Sumber : www.rumaysho.com