Tolong
share - Halal atau diperbolehkan
adalah segala objek atau kegiatan yang diizinkan untuk digunakan atau
dilaksanakan, dalam agama Islam. Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih
sering digunakan untuk menunjukkan makanan dan minuman yang diizinkan untuk
dikonsumsi menurut Islam, menurut jenis makanan dan cara memperolehnya.
Pasangan halal adalah thayyib yang berarti 'baik'. Suatu makanan dan
minuman tidak hanya halal, tetapi harus thayyib; apakah layak dikonsumsi
atau tidak, atau bermanfaatkah bagi kesehatan. Lawan halal adalah haram.
Ada sebuah pertanyaan
?
- Apakah sertifikasi halal itu harus dimiliki oleh setiap aspek yang berhubungan dengan kehidupan manusia? Seperti misalnya tekstil yang kemudian diubah menjadi pakaian, kosmetik yang juga harus memiliki sertifikasi halal, hingga tempat wisata dengan label halal?
- Bagaimana dalilnya dalam Islam sendiri terkait dengan konsep halal, apa memang harus ditelusuri sampai hal-hal tersebut?
- Terkait dengan makanan, banyak pengusaha kecil menengah yang belum memiliki label halal pada kemasannya. Tetapi mereka mengatakan apa yang mereka pasarkan halal, tidak mengandung daging babi maupun turunannya. Apakah kita harus tetap waspada untuk mengkonsumsinya? (Dari Wulan, Media Indonesia)
Sertifikasi Halal dalam Segala Aspek
Ibnu
Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
” اعلم أن الأصل في جميع الأعيان
الموجودة على اختلاف أصنافها وتباين أوصافها : أن تكون حلالا مطلقا للآدميين ، وأن
تكون طاهرة لا يحرم عليهم ملابستها ومباشرتها ، ومماستها ، وهذه كلمة جامعة ،
ومقالة عامة
“Hukum asal
segala sesuatu dilihat dari perbedaan tingkatan dan sifat, semuanya adalah
halal bagi manusia. Juga hukum asalnya adalah suci, tidak haram untuk
dikenakan, diminum, atau disentuh. Ini kaedah yang mencakup berbagai macam
masalah dan kaedahnya sifatnya umum. (Majmu’ Al-Fatawa, 21: 535)
Kebanyakan
ulama pun berpandangan bahwa hukum asal segala sesuatu itu boleh. Para ulama
mengatakan dalam kaedah fikih,
الأَصْلُ فِي
الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
“Hukum asal
segala sesuatu adalah boleh.”
Di antara
dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي
خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah
Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kalian.” (QS.
Al-Baqarah: 29)
Begitu pula
firman Allah Ta’ala,
قُلْ مَنْ
حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ
الرِّزْقِ
“Katakanlah:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (QS. Al-A’raf: 32)
Dalam hal
bisnis pun demikian, para ulama katakan,
الأَصْلُ فِي
المعَامَلاَتِ وَالعَادَاتِ الحِّلُّ وَالإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا قَامَ الدَّلِيْلُ
عَلَى خِلاَفِهِ
“Hukum asal
dari muamalah (transaksi) dan hukum asal untuk adat adalah halal dan boleh
kecuali ada dalil yang menyelisihinya.”
Syaikh
As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam bait sya’ir kaedah fikihnya,
الأَصْلُ فِي
مِيَاهِنَا الطَّهَارَةُ وَالأَرْضِ وَالثِّيَابِ وَالحِجَارَةِ
“Hukum asal
air adalah suci, begitu pula tanah, baju dan bebatuan.”
Maka setiap
aspek yang berkaitan dengan urusan dunia (non-ibadah), boleh dan halal kita
lakukan. Termasuk di sini dalam hal pakaian, asalnya halal. Sama halnya dengan
zat kosmetik. Kecuali ada kandungan yang haram dalam pakaian seperti mengandung
sutera atau ada zat haram dalam kosmetik, barulah haram.
Adapun
tempat wisata apakah butuh dilabeli halal? Ini mesti melihat dari beberapa
sisi. Dari sisi tanah yang ditempati, tentu asalnya boleh ditempati. Kecuali
jika tanah tersebut adalah tanah bersengketa atau bermasalah, barulah
terlarang. Adapun dari sisi kegiatan yang ada dalam wisata tersebut, itulah
yang perlu ditinjau. Misalnya, tempat wisata yang dilegalkan dengan prostitusi
dan miras.
Sehingga
kalau ditanyakan, hal-hal dunia di atas apakah perlu ditelusuri kehalalannya?
Jawabannya,
asalnya semuanya halal kecuali ada permasalahan yang bertentangan dengan
syari’at.
Setiap Kemasan Makanan Haruskah Ada Label
Halal?
Wallahu
a’lam, selama
yang menjual adalah muslim, maka asalnya makanannya adalah halal untuk
dikonsumsi walau tidak memiliki label halal. Sikap ini menunjukkan bahwa kita
mengedepankan prasangka baik pada mereka. Berbeda halnya jika ada masalah dalam
makanan tersebut.
Coba
perhatikan hadits berikut.
عَنْ
عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ
قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
أَمْ لاَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ
وَكُلُوهُ
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ada suatu kaum yang berkata, “Wahai Rasulullah, ada
suatu kaum membawa daging kepada kami dan kami tidak tahu apakah daging
tersebut saat disembelih dibacakan bismillah ataukah tidak.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Ucapkanlah bismillah lalu makanlah.”
(HR. Bukhari, no. 2057).
Ibnu Hajar rahimahullah
menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diperoleh di pasar kaum muslimin,
asalnya halal. Begitu pula dengan hasil sembelihan mereka karena asalnya
namanya muslim sudah paham keharusan membaca ‘bismillah’ saat menyembelih. Oleh
karenanya, Ibnu ‘Abdil Abrr berkata bahwa sembelihan seorang muslim boleh
dimakan dan kita berprasangka baik bahwa ia membaca bismillah ketika
menyembelih. Karena kita hendaklah berprasangka yang baik pada setiap muslim
sampai jika ada sesuatu yang menyelisihi hal itu. Demikian disebutkan dalam Fath
Al-Baari, 9: 786.
Perlukah Sertifikat Halal MUI?
Disebutkan
dalam web halalmui.org, sertifikat Halal
MUI adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal MUI ini
merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan
produk dari instansi pemerintah yang berwenang.
Apa
tujuannya?
Sertifikasi
Halal MUI pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya dilakukan
untuk memberikan kepastian status kehalalan, sehingga dapat menenteramkan batin
konsumen dalam mengkonsumsinya. Kesinambungan proses produksi halal dijamin
oleh produsen dengan cara menerapkan Sistem Jaminan Halal.
Kalau kita
melihat keterangan di atas, berarti sertifikat halal adalah niatan baik dari
MUI agar makanan di pasaran terjaga dari kecurangan pihak yang ingin
menyalurkan yang haram di tengah masyarakat kita yang mayoritasnya muslim.
Kita sebagai
pelaku usaha pun tetap harus memenuhi aturan ini, di samping menanamkan rasa
percaya pada konsumen, juga untuk menjalankan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’: 59). Maksud kalimat ‘taatlah pada
ulil amri’, yaitu taatlah pada pemimpin. Demikian pendapat dari Abu
Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Zaid bin Aslam, As-Sudi dan Maqatil.
Berarti yang
membuat regulasi ini adalah pemerintah lewat MUI, maka rakyat harus manut dan
memenuhi aturan tersebut.
Kesimpulan
- Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh institusi tertentu sangat besar manfaatnya. Setidaknya sertifikat itu akan membantu memudahkan orang dalam mengenali makanan halal, karena memang bisa dijadikan penjamin kehalalan suatu produk makanan dalam batas tertentu.
- Namun bila suatu produk makanan tidak ada sertifikat halalnya, jangan lantas divonis bahwa makanan itu 100% pasti haram. Sebab untuk mengharamkan suatu makanan, kita butuh dalil dan bukti yang kuat. Karena pada dasarnya, semua makanan itu halal dan tidak bisa berubah hukumya menjadi haram, kecuali disertai dalil dan bukti.
- Kalau seseorang dalam rangka wara’ atau hati-hati tidak makan di restoran yang tidak berlabel halal, tidaklah masalah. Yang jelas, jangan sampai mempersulit diri sendiri.
Semoga
bermanfaat.
sumber : https://rumaysho.com