Tolong
share - Sahabat pembaca tolong share apa kabar? Semoga diberi kesehatan. Pada
hari ini saya melihat anak-anak dan remaja bebas mengonsumsi rokok di
pinggir-pinggir jalan, di sekolah, atau bahkan di rumah sendiri. Seakan bukan
hal yang tabu lagi. Padahal dulu anak dan remaja yang ingin merokok harus
sembunyi-sembunyi. Entah karena sudah terbiasa atau orangtua mengizinkan
sepenuh hati, yang jelas fenomena ini amat mudah ditemukan.
ilustrasi google
Sebenarnya, masalah paling besar bukanlah soal tabu
atau tidaknya. Bukan soal mampu atau tidaknya. Akan tetapi, kita mesti melihat
dampaknya di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Bermacam bentuk
sosialisasi sudah dilakukan untuk menjelaskan perihal rokok. Rokok merupakan
racun kompleks yang siap menggerogoti tubuh kita. Tar, nikotin, dan zat-zat
toksik (beracun) yang beraneka ragam terkandung pada sebatang rokok.
Memang dengan merokok sekali dua kali, mungkin
penyakit belum timbul. Sehingga sebagian orang menganggap bahwa ancaman
penyakit itu hanya omong kosong. Setelah bertahun-tahun merokok, barulah mulai
terasa gejalanya. Ada yang mengeluh batuk tidak berhenti, sesak nafas, sampai
penyakit-penyakit parah seperti kanker. Kalau dibiarkan, penyakit semacam ini
akan marak terjadi. Saat ini saja, menurut data WHO, angka kematian disebabkan
kebiasaan merokok di Indonesia sudah mencapai 400 ribu kasus per tahun. Angka
itu terus bertambah, alih-alih berkurang.
Kasus-kasus
demikian tidak akan berhenti jika selalu saja ada generasi penerus. Bila
perokok yang saat ini masih berkutat dengan kebiasaannya tidak menjangkitkan
kebiasaan buruk tersebut pada anak atau temannya, tentu sehabis dia tidak ada
lagi yang jadi perokok. Tapi anak-anak sudah terlanjur mengenal rokok sejak
belia. Lihatlah para ayah yang tanpa merasa salah menggendong anaknya sambil
merokok. Katanya pula, “Nak, Ayah sayang padamu.” Padahal, saat itu juga ia
sedang meracuni anaknya.
Begitulah seiring dengan usia anak yang bertambah, ia
terus menyaksikan ayahnya menghisap rokok. Tiba masa remaja, mulailah ia
berpikir ingin mencoba. Perlu diingat, anak dan remaja adalah peniru yang
paling baik. Tanpa diperintah, mereka akan mencoba melakukan apa saja yang oleh
orang-orang di sekitarnya biasa dilakukan. Apalagi remaja sering disuguhi
kampanye bodoh; kalau nggak merokok, nggak keren, dan sebagainya.
Kerugian besar mengintai kita bila generasi muda telah
akrab dengan kebiasaan merokok. Data pediatric menjelaskan, remaja yang
terbiasa merokok akan 3 kali lebih banyak mengonsumsi alkohol, 8 kali lebih
berpotensi mengonsumsi marijuana, dan 22 kali lebih sering mengonsumsi kokain.
Logikanya sederhana saja. Bila sejak remaja dia sudah terbiasa dengan rokok, ia
akan mencari hal baru yang lebih menyenangkan untuk memuaskan nafsu. Maka, ini
peringatan tegas bagi para orangtua; janganlah berpikir bahwa kebiasaan merokok
akan menjadi akhir bagi remaja, kebiasaan itu justeru akan menjadi awal bagi
kebiasaan buruk yang lebih dahsyat.
Setelah menyadari bahaya ini, hendaknyalah kita
berupaya sedaya-bisa mencegahnya. Terkait rokok, upaya mencegah dampak buruknya
tidak bisa mengandalkan upaya satu, sedikit, atau sebagian orang. Masalah ini
baru bisa teratasi kalau semua pihak sudah bergabung dalam satu barisan.
Langkah awal adalah dengan membetulkan persepsi.
Orangtua, guru, dan tetua di lingkungan masyarakat harus bisa menyadarkan
remaja bahwa merokok adalah aktivitas yang merugikan. Tindakan ini harus
dilakukan bahkan sebelum remaja mulai mencoba-coba merokok. Tentu saja, remaja
tidak bisa menerima penjelasan ini kalau yang menyampaikan pun merokok. Mereka
tidak bisa menerima kalaupun kita mengatakan “dengarlah apa yang disampaikan,
tidak perlu melihat siapa yang menyampaikan.”
Kalau orangtua benar-benar tidak ingin anaknya
merokok, maka berhentilah merokok. Atau, setidaknya, jangan sampai anak tahu
kalau orangtuanya merokok. Perlihatkan betapa bencinya kita kepada rokok karena
bahaya yang diakibatkannya pada tubuh kita. Tentu saja, sekaligus citra orang
merokok jadi tidak baik di mata anak dan remaja. Seperti ketika kita
menjelaskan bahwa mencuri ada tindakan tercela, maka orang yang mencuri
otomatis mendapat citra yang buruk. Orangtua harus menerima kalau kemudian
anaknya tidak suka ketika melihatnya merokok.
Langkah selajutnya, meniadakan keterjangkauan dan
keleluasaan. Harga rokok yang terjangkau membuat anak dan remaja mudah
mendapatkannya. Di Indonesia, sebungkus rokok bisa didapat dengan harga Rp.
10.000 sampai Rp. 20.000 saja. Jauh berbeda dengan harga di Singapura,
misalnya. Di sana sebungkus rokok dihargai sekitar Rp. 80.000.
Selain harga, kita juga membutuhkan aturan tegas yang
menjamin bahwa anak tidak leluasa membeli rokok di warung. Dalam keterjangkauan
dan keleluasaan ini, kita mengandalkan kebijakan pemerintah daerah dan pusat.
Masalah kesehatan dan kemantapan generasi muda adalah permasalahan yang penting
untuk diperhatikan.
Saya pribadi berharap kebiasaan merokok ini tidak lagi
menjamur di tengah remaja. Syukur kalau juga memudar di tengah orang dewasa
yang notabene lebih matang pemikirannya. Bagi bangsa kita, permasalahan rokok
sering dianggap kecil, mudah-mudahan anggapan itu bisa terbukti dengan
keseriusan menumpasnya. Bangsa kita pantas malu kalau urusan kecil saja tidak
bisa diselesaikan.
Semoga
artikel ini bermanfaat
Sumber: ummi-online.com, Mhd
Rois Almaududy