Tolongshareya – Sahabat tolongshareya yang dimuliakan oleh Allah SWT, Kehidupan
rumah tangga bukan perkara yang mudah untuk dijalani setiap insan yang telah
menikah, ada kalanya rukun dan juga ada kalanya bertengkar. Nah bagaimana jika
sudah talak namun suami tetap minta berhubungan, apakah istri wajib
melayaninya?Simak ulasan berikut ini :
Assalamu'alaikum
Ummi, suami sudah menjatuhkan talak
pada saya. Kami juga sudah mendaftar proses cerai ke pengadilan, tapi belum
mendapat jadwal sidang. Hingga kini kami masih tinggal serumah. Yang membuat
saya bingung, suami masih sering meminta saya melayaninya untuk berhubungan
in-tim, padahal saya sudah sangat enggan, mengingat semua perlakuannya yang
semena-mena. Dalam kondisi ini, apakah saya masih wajib melayaninya dan berdosakah
bila saya menolak?
Wassalamu'alaikum
Rini, Makassar
Wa'alaikumussalam
Jawaban Syariah
Ibu Rini yang dirahmati Allah, saya
mencoba memahami yang Ibu maksudkan adalah talak raj’i (talak
1 dan 2 ). Ada beberapa pendapat ulama mengenai rujuk dan boleh tidaknya
melakukan jima’ setelah
talak.
- Imam Syafi’i berpendapat bahwa rujuk hanya
boleh dengan ucapan yang terang, jelas, dan dimengerti. Tidak boleh dengan
menyetubuhinya.
- Ibnu Hazm berpendapat, “Dengan
menyetubuhinya, ini tidak berarti merujuknya, sebelum kata rujuk itu
diucapkan dan menghadirkan saksi serta memberitahu istrinya itu terlebih
dahulu sebelum masa iddahnya habis (berdasar QS At-Talaq [65]: 2).
- Madzhab Hambali: Sesungguhnya masa iddah
merupakan penantian untuk berpisah dengan istri yang ditalak. Ketika masa
iddah selesai, maka terhalang kebolehan untuk rujuk. Karena itu, jika
iddah belum selesai dan suami menggauli istrinya di masa itu, maka istri
berarti kembali kepadanya. Status hukum ini sama dengan hukum ila’ (suami
bersumpah untuk tidak menggauli istri). Jika seorang suami melakukan ila’ terhadap
istrinya, kemudian dia menyetubuhi istrinya, maka hilang status
hukum ila’ (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22: 112).
Dalam kondisi Ibu dan suami saat ini,
sebetulnya sudah tidak ada kewajiban yang terkait jima’. Namun jika
suami tetap menginginkan hubungan suami istri dalam masa iddah, sesuai
referensi di atas ada 2 pendapat: yang pertama, harus diawali dengan
ucapan rujuk dengan menghadirkan dua saksi; atau, yang kedua, boleh
melakukan jima’ tanpa ucapan rujuk dan saksi, namun hal itu berarti
Ibu dan suami sudah rujuk kembali.
Jawaban
Psikologi
Ibu Rini, ada beberapa pilar kebahagiaan di dalam kehidupan rumah
tangga, di antaranya adalah rasa cinta, komitmen, dan saling memahami pasangan.
Namun saat ini kondisi rumah tangga Ibu sedang menjalani proses perceraian.
Secara psikologis, walau merasa tidak nyaman, Ibu harus dapat menahan emosi dan
santun kepada suami agar perpisahan dapat dilakukan dengan baik demi kelanjutan
hubungan suami Ibu dengan anak-anak di kemudian hari.
Anak-anak membutuhkan figur ayah di
dalam kehidupan mereka, terutama anak laki-laki. Mereka tidak boleh kehilangan
hak pengasuhan dari ayahnya. Oleh karena itu komunikasi dengan suami harus
tetap dijaga.
Pada dasarnya kondisi suami Ibu
juga sedang dalam keadaan tidak nyaman dan tertekan karena membayangkan
perpisahan dengan Ibu dan anak-anak. Kondisi ini membuat suami memiliki
kebutuhan yang tinggi untuk melakukan hubungan suami istri walaupun dia sendiri
yang mengucapkan kata cerai. Terkait kewajiban Ibu dalam melayaninya silakan
merujuk kepada jawaban syariah dan hukum. Semoga Allah memberikan jalan keluar
yang baik bagi Ibu dan keluarga.
Jawaban Hukum
Ibu Rini, berdasarkan hukum positif
di Indonesia, putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak yang dimohonkan oleh suami atau gugatan perceraian yang
diajukan istri. Perceraian, baik talak maupun gugat cerai, menurut ketentuan UU
No.1 Tahun 1974, hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (PA),
setelah PA tidak berhasil mendamaikan kedua pihak. Lebih lanjut, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 123 Kompilasi Hukum Islam, perceraian terjadi terhitung
pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang PA.
Jika merujuk ketentuan-ketentuan
hukum positif tersebut, saya berpandangan bahwa putusnya ikatan perkawinan Ibu
Rini dengan suami secara hukum, baru akan terjadi ketika dinyatakan oleh hakim
dalam sidang putusan PA. Dengan demikian sepanjang belum ada putusan PA yang
menyatakan putusnya ikatan perkawinan Ibu dengan suami, maka secara hukum
positif Ibu dan suami masih terikat perkawinan yang sah.
Soal “masih tinggal satu rumah”
selama proses perceraian, menurut hukum positif dibolehkan atau tidak dilarang.
Kecuali bila Ibu atau suami mengajukan kepada hakim untuk pisah tempat tinggal,
atau hakim mempertimbangkan kemungkinan adanya bahaya yang timbul akibat
tinggal serumah, maka PA dapat mengizinkan suami istri tersebut tidak tinggal
dalam satu rumah. Hal ini diatur dalam Pasal 24 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975.
Semoga tulisan ini
bisa menambah pengetahuan sahabat tolongshareya. Dan semoga perkara akan hal
ini tidak terjadi pada kita semua.
Sumber :
ummi-online.com