Tolongshareya - Sahabat tolongshareya, perbedaan prinsip atau pendapat
dalam memandang cara hidup sering memunculkan kesalahpahaman. Terlebih lagi
bila perbedaan itu dijalani dalam hidup berumahtangga.
Mungkin inilah yang sempat
dirasakan oleh seorang sahabat yang kemudian mencurahkannya dalam
penggalan-penggalan pesan di ponsel danfacebook. Ia
mempertanyakan mengapa pernikahan pada akhirnya mengubur habis mimpinya. Kalau
istri bersedia mendampingi suami yang dicintainya untuk meraih semua mimpinya,
mengapa sang suami tak bisa melakukan hal yang sama pada dirinya?
Ketika kesalahpahaman terjadi, hak
prerogatifnya sebagai imam dalam keluarga menjadi alasannya bersikap. Sebuah
alasan yang sebenarnya tak lebih dari sekadar menyelamatkan harga dirinya.
Namun, inilah pula yang pada akhirnya kerap menempatkan sang istri untuk terus
dan harus mengalah. Tidakkah terpikir oleh suami bagaimana perasaan, impian dan
harga diri seorang istri yang mendampingi hidupnya selama ini?
Saya melihat ketulusan anak dan istri yang terus mendukung suami dan
ayah mereka dengan doa serta ikhtiar kadang tak sempat didiskusikan. Juga
kemauan mereka menjalani masa-masa sulit selama perjalanan berumahtangga.
Mengingat jerih payah dan
pengorbanan yang telah mereka berikan, kadang membuat saya malu dan merasa
bersalah, betapa saya tidak berjuang melakukan dan memberikan yang terbaik
untuk mereka.
Saya pikir suami harus selalu
berusaha sekuat tenaga menjadikan dirinya sebagai sosok yang terlatih waktu
demi waktu untuk menjadi lebih baik. Kesungguhan ini akan mematrikan dirinya
sebagai sosok yang memiliki harga diri di hadapan keluarga, yaitu harga diri
yang lahir dari perilakunya, kesungguhannya bekerja, dan sebagainya. Bukan
harga diri yang meninggikan dirinya daripada mereka.
Sebagai suami, kita pun harus
mengakui dan menyadari keterbatasan kita. Suami tidak harus merasa tercipta dan
ditakdirkan menjadi pria hebat, penakluk segala rintangan kehidupan dan
“pencipta” impian bagi keluarga. Cukuplah baginya memberikan kesempatan dan
kepercayaan kepada istri dan anak-anaknya untuk tumbuh dan membantu menggapai
impian anggota keluarga.
Seorang suami hanyalah “syariat”,
jalan dan pijakan anggota keluarga menggapai sukses impian yang sebenarnya
telah Allah siapkan. Ia ditugaskan menjadi penjaga keluarga agar tetap seiring
sejalan dengan rencana keluarga.
Dia harus memperkokoh kemampuan
dirinya demi memperkaya isi impian keluarga dengan memberikan pencerahan ilmu
dan pengalaman bagi masa depan mereka yang lebih baik. Ia harus menahan diri
dari mengungkung keluarga dengan keinginan sepihak, bahkan ia harus ikhlas
manakala rasa terima kasih dan pujian atas pengorbanannya itu tak kunjung ia
terima.
Sejatinya sebuah keluarga tidak
berjalan hanya dengan komitmen dan prinsip. Keluarga pun harus memiliki kemauan
untuk bertumbuh dengan belajar dan berlatih bersama agar mampu bertahan saat
kesulitan, tegar di bawah tekanan, dan tak luntur semangat kreatifnya dalam
menjalani hidup.
Demi melangkah bersama
memperjuangkan impian, setiap suami tampaknya harus siap menjadi penjaga agar
semangat dan impian keluarganya tak tercuri.
Adalah sebuah kenyataan bahwa istri
dan anak-anak itu ada bukan karena kita pilih. Allah memberi pun bukan untuk
dimiliki. Karenanya, marilah kita menjadi “pelayan sejati” untuk titipan
terhebat yang Allah berikan.
Semoga bermanfaat bagi sahabat tolongshareya agar bisa hidup harmonis
dalam berkeluarga serta menambah cinta kasihnya terhadap keluarga.
Sumber :
ummi-online.com