Tolong Share
- Sebut saja namanya Karta. Ia telah menikah dengan wanita pilihannya. Wajahnya
cantik. Namun sayang, hatinya tak secantik wajahnya. Karta mulai terpengaruh
dengan istrinya dan hampir selalu menurutinya. Dari sinilah kisah tragis itu
dimulai.
Selain Karta dan istrinya, di rumah
itu juga tinggal ibunya. Sebelumnya, Karta bersikap baik pada ibunya. Tapi
perlahan, sang istri mulai men cuci otak suaminya.
Suatu hari,
sepulang Karta dari tempat kerja, istrinya mengadu. “Mas, ibu itu bagaimana
sih. Kerjanya cuma jalan-jalan ke rumah tetangga. Nggak mau bantuin aku.” Karta
langsung termakan kata-kata sang istri. Lalu karta mencari ibunya.
O ibu begitu ya sekarang sukanya ke main ke rumah tetangga ya. Nggak mau bantu menantu ibu sedikitpun,” tuduh Karta kepada ibunya.
“Siapa yang bilang begitu. Ibu itu yang ngepel dan nyapu rumah ini, Karta. Ibu yang mencuci. Dan makanan yang kamu makan itu, itu juga ibu yang masak. Ibu memang ke rumah tetangga, tapi itu cuma sebentar. Untuk istirahat. Kalau istirahat siang-siang di rumah ini, ibu bisa dimarahi istrimu,” jawab ibunya.
Mendengar
penjelasan itu, bukannya minta maaf, Karta malah tidak mempercayainya. “Ah, ibu
alasan saja.”
Hari-hari
berikutnya, hubungan antara Karta dan ibunya tak kunjung membaik. Apalagi
hubungan antara ibu dengan istri Karta, semakin memanas. Hingga suatu malam,
setelah Karta sampai di rumah, sang istri memintanya mengambil keputusan yang
sangat sulit.
“Mas, aku
sudah tidak betah lagi sama ibu. Aku dan ibu tidak bisa lagi tinggal dalam satu
atap. Sekarang Mas pilih, aku yang pergi atau ibu yang keluar dari rumah ini,”
kata istri Karta dengan nada tinggi.
Karta
bingung. Ia tidak tega mengusir ibunya, tetapi ia juga tidak sanggup berpisah
dari istrinya.
“Kenapa seperti itu Dik. Aku sangat
mencintaimu, aku tak mungkin hidup sendiri tanpamu. Tapi ibu, ia tidak punya
siapa-siapa. Kalau ia pergi, pergi ke mana? Kasihan dia,” ujar Karta bingung.
“Enggak Mas.
Malam ini juga kamu harus putuskan. Ibu yang pergi atau aku yang pergi.” Luluh
juga hati Karta di depan istrinya. Entah syetan apa yang merasukinya, ia pun
melangkah ke kamar ibunya.
“Masya
Allah, benarkah kamu mau mengusir ibu ini, Karta?” tanya ibu setengah tak
percaya saat mendengar Karta memintanya pergi dari rumah.
“Iya,
Bu. Ini demi kebaikan rumah tangga kami,” ujar Karta dengan tegas.
“Kamu tega, Karta,” kata
sang ibu dengan suara gemetar, namun orang yang namanya dipanggil hanya diam,
“kalaupun kamu mengusirku, tunggulah besuk pagi. Tengah malam begini, ibu harus
ke mana?”
Karta
terdiam. Ia tak menjawab. Tapi keputusannya telah bulat.
Beberapa saat kemudian, ibu Karta pun keluar dengan tas di tangannya. Tidak semua barangnya bisa dibawa. Ia melangkah berjalan di tengah malam, sambil air mata terus menetes membasahi pipinya. Sebagai seorang ibu, ia sungguh sangat kecewa. Sakit hatinya. Diusir oleh anak sendiri yang lebih mementingkan istri tak berakhlak daripada ibunya. Dalam kondisi itu, sang ibu pun berdoa.
“Ya Allah, hatiku sakit atas perlakuan ini. Anakku sendiri mengusirku, padahal aku yang mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkannya. Ya Allah, aku tidak ridho padanya. Aku haramkan seluruh air susu yang diminumnya sejak bayi hingga membentuknya seperti saat ini!”
Doa seorang ibu yang didurhakai, di tengah malam, dalam kondisi hujan rintik-rintik, ketiga faktor mustajabnya doa itu bertemu.
Keesokan harinya, Karta merasakan seluruh tubuhnya sakit. Kulitnya mulai gatal-gatal. Makin lama, kulitnya seperti melepuh. Hari-hari berikutnya lepuhan itu mengeluarkan nanah dengan bau yang menyengat. Sampai-sampai, tetangga yang menjenguknya pun tidak berani mendekat.
Beberapa saat kemudian, ibu Karta pun keluar dengan tas di tangannya. Tidak semua barangnya bisa dibawa. Ia melangkah berjalan di tengah malam, sambil air mata terus menetes membasahi pipinya. Sebagai seorang ibu, ia sungguh sangat kecewa. Sakit hatinya. Diusir oleh anak sendiri yang lebih mementingkan istri tak berakhlak daripada ibunya. Dalam kondisi itu, sang ibu pun berdoa.
“Ya Allah, hatiku sakit atas perlakuan ini. Anakku sendiri mengusirku, padahal aku yang mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkannya. Ya Allah, aku tidak ridho padanya. Aku haramkan seluruh air susu yang diminumnya sejak bayi hingga membentuknya seperti saat ini!”
Doa seorang ibu yang didurhakai, di tengah malam, dalam kondisi hujan rintik-rintik, ketiga faktor mustajabnya doa itu bertemu.
Keesokan harinya, Karta merasakan seluruh tubuhnya sakit. Kulitnya mulai gatal-gatal. Makin lama, kulitnya seperti melepuh. Hari-hari berikutnya lepuhan itu mengeluarkan nanah dengan bau yang menyengat. Sampai-sampai, tetangga yang menjenguknya pun tidak berani mendekat.
Berbagai
upaya medis tak juga membuatnya membaik. Karta menyadari bahwa ini mungkin
karena kesalahannya mengusir ibunya sendiri di malam itu. “Tolong carikan
ibuku, aku ingin minta maaf. Sakitku ini karenanya,” pintanya pada seseorang.
“Tidak. Biar
Karta merasakan sakit itu. Sakitnya hatiku diusir lebih sakit dari apa yang
dirasakan Karta,” jawab sang ibu saat ditemui pesuruh Karta, “aku tak mau
kembali ke rumah itu.”
Beberapa
hari kemudian, Karta pun meninggal. Begitu busuknya bau Karta, sampai-sampai
modin setempat tidak mau memandikannya sendiri. Ia menyewa orang untuk
memandikan Karta. Waktu meninggalnya Karta hampir bersamaan dengan meninggalnya
orang lain di kampung yang sama. Sehingga tersedialah dua galian untuk
memakamkan mereka. Dan baru saja Karta dimakamkan, keributan terjadi.
“Ini
seharusnya makam untuk saudara saya, kenapa ditempati,” kata seseorang yang
terkejut melihat galian makam untuk saudaranya telah terisi.
“Maaf pak,
kami tidak tahu. Karena sudah terlanjur, sekali lagi kami minta maaf. Mohon
almarhum dimakamkan di galian satunya Pak, kan sama-sama makamnya”
“Tidak bisa!
Ini sudah kita pesan liang lahatnya dekat dengan anggota keluarga yang
meninggal sebelumnya. Kalau di sana kan jadi terpisah. Kami tidak mau. Harus
dibongkar”
Karena tidak
bisa diajak kompromi, akhirnya warga pun mengalah untuk membongkar kembali
makam Karta. Anehnya, saat makamnya dibongkar, mereka mendapati kain kafan
Karta telah berubah warna; coklat keabu-abuan. Tubuhnya juga tampak lebih
tipis. Dan begitu dibuka, mereka terkejut bukan main. Jenazah Karta berubah
warna dan bentuk, seperti hangus terbakar. Demikian dahsyatnya azab bagi anak yang
durhaka kepada ibunya. Azab pedih langsung terjadi di dunia dan lebih pedih
lagi saat berada di alam barzah.
Jika kalian
sayang ibumu mohon sebarkan kisah ini, semoga bisa bermanfaat dan membuat kita
lebih mencintai ibu.
Sumber :
cintaislami.com