Tolongshareya –
Sahabat tolongshareya, Ramadhan merupakan bulan yang paling ditunggu-tunggu
umat islam. Disamping memiliki nilai pahala yang istimewa juga ada perjuangan
menuju kemenangan yaitu Idhul fitri. Ramadhan identik mempunyai kewajiban
berpuasa. Lantas bagaimana hukumnya mengeraskan niat puasa setelah tarawih
sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan muslim disekitar kita?
Perintah Berniat Setiap Malam
dan Berulang Setiap Malamnya
Dari Hafshoh Ummul
Mukminin bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ
الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa
yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.”
(HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, An Nasai no. 2333, dan Ibnu Majah no.
1700)[1]
Muhammad Al Khotib
berkata, “Berdasarkan hadits ini niat juga harus ada di setiap malam. Karena
puasa hari yang satu dan lainnya adalah ibadah tersendiri. Jika satu hari puasa
batal, maka tidak membatalkan lainnya.” (Al Iqna’, 1: 405).
Namun Apakah Niat Mesti
Dilafazhkan?
Muhammad Al Hishniy
-seorang besar ulama Syafi’iyah- berkata, “Puasa tidaklah sah kecuali dengan
niat karena hadits menyatakan demikian. Namun letak niat adalah di hati. Niat
tidak dipersyaratkan untuk dilafazhkan. Hal ini tidak ada perselisihan pendapat
di antara para ulama. Niat harus ada di setiap malamnya karena setiap hari
puasa adalah ibadah tersendiri. Jika salah satu hari puasa batal, tentu tidak
merusak yang lain.” (Kifayatul Akhyar, hal. 248).
Bagaimana dengan Mengeraskan
Niat?
Ini yang kita
sering saksikan dan lakukan dikeraskan secara berjama’ah selepas shalat
tarawih. Sambil dikomandoi lalu diserukan, “Nawaitu shouma ghodin an-adai …”.
Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa mengeraskan dan melafazkan niat itu berbeda. Kalau melafazhkan
artinya didengar oleh diri sendiri. Sedangkan mengeraskan seperti yang kita
lihat di jama’ah-jama’ah tarawih yang ada di sekitar kita ketika mengeraskan
niat puasa. Yang kedua ini adalah suatu yang dilarang keras. Bahkan larangan
menjaherkan (mengeraskan niat) telah disepakati oleh para ulama.
Ibnu Taimiyah
berkata,
لَمْ يَقُلْ أَحَدٌ
مِنْهُمْ إنَّ الْجَهْرَ بِالنِّيَّةِ مُسْتَحَبٌّ وَلَا هُوَ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ
فَمَنْ قَالَ ذَلِكَ فَقَدْ خَالَفَ سُنَّةَ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَإِجْمَاعَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَغَيْرِهِمْ
“Tidak pernah
dikatakan oleh para ulama bahwa mengeraskan niat itu disunnahkan. Hal tersebut
pun bukan masuk dalam bid’ah hasanah. Siapa yang menyatakan
bahwa mengeraskan niat itu dianjurkan, maka ia berarti telah menyelisihi ajaran
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga telah menyelisihi kesepatan para
ulama madzhab yang empat dan lainnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 233)
Beliau juga
mengatakan setelah itu,
وَإِنَّمَا
تَنَازَعَ النَّاسُ فِي نَفْسِ التَّلَفُّظِ بِهَا سِرًّا . هَلْ يُسْتَحَبُّ أَمْ
لَا ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ وَالصَّوَابُ أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ بِهَا
فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ لَمْ
يَكُونُوا يَتَلَفَّظُونَ بِهَا لَا سِرًّا وَلَا جَهْرًا ؛ وَالْعِبَادَاتُ
الَّتِي شَرَعَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمَّتِهِ
لَيْسَ لِأَحَدِ تَغْيِيرُهَا وَإِحْدَاثُ بِدَعَةِ فِيهَا
“Para ulama
hanyalah berselisih dalam masalah apakah niat disunnahkan dilafazhkan ataukah
tidak. Ada dua pendapat dalam hal ini. Namun yang lebih tepat, melafazhkan niat
itu tidak disunnahkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya tidak pernah melafazhkan niat baik dilirihkan maupun dikeraskan.
Yang namanya ibadah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
umatnya tidaklah boleh diubah-ubah dan jangan seorang berbuat perkara baru
alias bid’ah.” (Idem)
Semoga Allah
memberi hidayah.
—
[1] Asy Syaukani
rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf
(hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat
marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh
ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh
sekelompok ulama, namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi
tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ad Daroril Mudhiyyah, hal. 266).
Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4: 26).
Semoga pengetahuan
ini bisa memberi manfaat bagi kita semua dan semoga kita mendapatkan Ridho dari
Allah SWT. Aamiin
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: https://rumaysho.com/8114-mengeraskan-niat-puasa-setelah-tarawih.html