Tolong Share
- Menata shaf dalam Shalat baik yang wajib maupun sunnah merupakan hal penting
saat kita menunaikan shalat berjama’ah. Namun sangat disayangkan, sunnah Rasul
ini mulai diabaikan bahkan cenderung dilupakan.
Saudariku
muslimah yang di muliakan oleh ALLAH… Dalam penjelasan yang lalu kita telah mengetahui
hukum shalat berjama’ah bagi wanita dan beberapa perkara yang berkaitan dengan
jama’ah wanita. Namun mungkin masih tersisa di benak kita yang belum kita
dapatkan keterangannya. Salah satu masalah yang bisa kita sebutkan di sini
adalah tentang shaf wanita dan keberadaan mereka ketika shalat bersama pria.
Mengapa kita
perlu membahas masalah shaf ini? Karena banyak kita jumpai kesalahan di
kalangan sebagian wanita. Ketika mereka hadir dalam shalat berjama’ah di
masjid bersama kaum pria, mereka bersegera menempati shaf yang awal, tepat di
belakang shaf terakhir jama’ah pria. Mereka menduga, dengan itu mereka akan
mendapatkan keutamaan. Padahal justru sebaliknya.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا
آخِرُهَا، خَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik
shaf pria adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang
akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek
shaf wanita adalah yang paling awal.” (Shahih, HR. Muslim, no. 440)
Al-Imam
Nawawi rahimahullahu berkata: “Adapun shaf-shaf pria maka secara umum
selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal dan selama-lamanya yang paling
jelek adalah shaf akhir. Berbeda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam
hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum pria.
Adapun bila mereka
(kaum wanita) shalat terpisah dari jama’ah pria, tidak bersama dengan pria,
maka shaf mereka sama dengan pria, yang terbaik shaf yang awal sementara yang
paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang jelek bagi
pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, dan
paling jauh dari tuntunan syar’i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah
sebaliknya.
Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjama’ah
bersama pria memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut
akan jauh dari bercampur baur dengan pria dan melihat mereka. Di samping
jauhnya mereka dari interaksi dengan kaum pria ketika melihat gerakan mereka,
mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita
karena alasan yang sebaliknya dari apa yang telah disebutkan.” (Syarah
Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan’ani
rahimahullahu menyatakan: “Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita
berbaris dalam shaf-shaf dan dzahir hadits ini menunjukkan sama saja baik
shalat mereka itu bersama kaum pria atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya
shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum
pria, dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah
terwujud kecuali bila mereka shalat bersama pria. Adapun bila mereka shalat
dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf pria, yang
paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)
Dari
penjelasan di atas, dapat kita pahami dua perkara berikut ini:
- Bila wanita itu shalat berjama’ah dengan kaum pria, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang paling akhir.
- Sementara bila ia shalat dengan diimami wanita lain (berjama’ah dengan sesama kaum wanita) atau bersama jama’ah namun ada pemisah antara keduanya, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang paling awal sama dengan shaf yang terbaik bagi pria, karena tidak ada kekhawatiran terjadinya fitnah antara wanita dan pria. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ
لاَسْتَهَمُوْا
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan (pahala) yang
diperoleh dalam shaf yang pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk
mendapatkannya.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari no. 721 dan Muslim no. 437)
Haruskah
Wanita Meluruskan Shafnya?
Saudariku
muslimah…
Ketentuan
yang diberlakukan syariat ini terhadap shaf pria juga berlaku bagi shaf wanita
dari sisi keharusan meluruskan shaf, mengaturnya, memenuhi shaf yang awal
terlebih dahulu kemudian shaf berikutnya, serta menutup kekosongan yang ada
dalam shaf. (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan,
3/157,158)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ
مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
“Luruskan
shaf-shaf kalian, karena kelurusan shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Shahih, Al-Bukhari no. 723
dan Muslim no. 433)
Beliau juga
bersabda:
لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ
بَيْنَ وُخُوْهِكُمْ
“Hendaknya
kalian bersungguh-sungguh meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah
sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-wajah kalian1.” (HR. Al-Bukhari no. 717 dan Muslim
no. 436)
Bila para
wanita ini diimami oleh seorang wanita, maka hendaknya sebelum shalat
ditegakkan imam menghadap ke makmumnya untuk meluruskan shaf mereka, dengan
dalil hadits Anas radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan:
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَوَجْهِهِ فَقَالَ: أَقِيْمُوْا
صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
“Diserukan
iqamah untuk shalat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke
arah kami dengan wajahnya, seraya berkata: ‘Luruskan shaf-shaf kalian dan
rapatkanlah (saling menempel tanpa membiarkan adanya celah) karena sesungguhnya
aku melihat kalian dari belakang punggungku.’” (HR. Al-Bukhari no. 719 dan Muslim
no. 434)
Yang
dimaksud dengan meluruskan shaf adalah meratakan barisan orang-orang yang
berdiri di dalam shaf tersebut sehingga tidak ada yang terlalu maju atau
terlalu mundur, atau menutup adanya celah di dalam barisan tersebut (Fathul
Bari, 2/254). Hal ini bisa dilakukan dengan menempelkan pundak dengan
pundak dan mata kaki dengan mata kaki, sebagaimana amalan para shahabat yang
disebutkan oleh An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu: “Aku melihat
salah seorang dari kami menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya.”
(HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adzan; bab Ilzaqil Mankib bil
Mankib wal Qadam bil Qadam fish Shaf)
Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk meluruskan shaf, Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu menyaksikan: “Adalah salah seorang dari kami menempelkan pundaknya
dengan pundak temannya dan menempelkan kakinya dengan kaki temannya.” (HR.
Al-Bukhari no. 725)
Bagaimana
Bila Wanita Shalat Sendirian dengan Jama’ah Pria?
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah diundang makan di rumah Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu. Selesainya dari memakan hidangan yang disajikan, beliau mengajak
penghuni rumah untuk shalat bersama beliau. Maka Anas segera membersihkan tikar
milik mereka yang telah menghitam karena lama dipakai dengan memercikkannya
dengan air, setelah itu ia hamparkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Anas mengabarkan:
صَلَّيْنَا أَنَا وَيَتِيْمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي -أُمُّ سُلَيْمٍ- خَلْفَنَا
“Aku bersama
seorang anak yatim di rumah kami pernah shalat di belakang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, sedang ibuku -Ummu Sulaim- berdiri di belakang kami.” (HR. Al-Bukhari no. 380, 727
dan Muslim no. 658)
Hadits di
atas menunjukkan seorang wanita bila shalat bersama kaum pria maka posisinya di
belakang shaf mereka. Apabila tidak ada bersamanya wanita lain, dalam arti
hanya satu wanita yang ikut dalam jama’ah tersebut, maka dia berdiri sendiri di
shaf paling akhir dari shaf yang ada, demikian dikatakan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu
dalam Syarah Shahih Muslim (5/163).
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini
menunjukkan wanita tidaklah berdiri satu shaf dengan kaum pria. Asal dari
perkara ini adalah kekhawatiran terfitnahnya kaum pria dengan wanita….” (Fathul
Bari, 2/261)
Bolehkah
Seorang Pria Mengimami Seorang Wanita?
Saudariku
muslimah…
Mungkin akan
timbul pertanyaan: bolehkah seorang pria mengimami, yakni mereka hanya shalat
berdua? Maka jawaban dari pertanyaan di atas bisa kita rinci berikut ini.
Apabila wanita itu bukan mahramnya, maka haram ia berduaan (khalwat) dengannya
walaupun untuk tujuan shalat. Hal ini perlu kita tekankan karena mungkin ada
anggapan shalat itu ibadah sehingga tidak dipermasalahkan adanya khalwat ketika
mengerjakannya. Maka ini jelas anggapan yang salah. Dalil dalam permasalahan
ini adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang umum:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي
مَحْرَمٍ
“Tidak boleh
seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila wanita itu
didampingi mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)
Ulama kita
pun telah menyatakan keharaman akan hal ini, berbeda halnya bila wanita
tersebut adalah mahramnya atau istrinya maka dibolehkan baginya shalat berdua
dengan si wanita. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/277)
Ibnu Qudamah
rahimahullahu berkata: “Tidak mengapa seorang pria mengimami
wanita-wanita yang merupakan mahramnya sebagaimana bolehnya ia mengimami para
wanita bersama jama’ah pria. Karena (di jaman nubuwwah) para wanita biasa
shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, Nabi
sendiri pernah mengimami istri-istrinya dan pernah pula mengimami Anas bin
Malik bersama ibunya di rumah mereka.” (Al-Mughni, 2/200)
Wallahu
ta’ala a’lam bishshawab.
Shaf Wanita
di dalam Shalat
Ketika
disampaikan kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah
bahwasanya dalam bulan Ramadhan kaum wanita yang ikut hadir shalat berjama’ah
di masjid memilih menempati shaf yang akhir. Akan tetapi shaf wanita yang
pertama terpisah jauh dari shafnya jama’ah pria. Karena mayoritas wanita
menempati shaf akhir ini, sehingga shaf penuh sesak dan menutup jalan bagi
wanita lainnya yang hendak menuju ke shaf pertama. Mereka melakukan hal ini
karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shaf
wanita yang paling utama adalah yang paling akhir.”
Beliau hafizhahullah
memberikan jawaban terhadap permasalahan di atas dengan mengatakan: “Dalam
permasalahan ini ada perincian. Apabila jama’ah wanita (yang ikut hadir di
masjid) shalat tanpa ada penghalang (penutup) antara mereka dengan jama’ah pria
maka keaadan mereka sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang paling
akhir.” Karena shaf yang akhir itu jauh dari kaum pria sedangkan shaf yang
depan dekat dengan kaum pria.”
Adapun bila
mereka shalat dengan diletakkan penghalang/penutup antara mereka dengan pria,
maka yang lebih utama bagi mereka adalah shaf yang terdepan karena hilangnya
(tidak adanya) perkara yang dikhawatirkan, dalam hal ini fitnah antara lawan
jenis. Sehingga keberadaan shaf mereka sama dengan shaf pria, yang paling depan
adalah yang terbaik, selama diletakkan penutup (penghalang) antara shaf mereka
dengan shaf pria. Dan shaf-shaf wanita wajib diatur sebagaimana shaf-shaf pria,
mereka sempurnakan/penuhi dulu shaf yang terdepan, baru yang di belakangnya dan
demikian seterusnya. (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/323/324)
Wallahu
a’lam.
Footnote:
1 Maknanya,
kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, yaitu Allah akan meletakkan
permusuhan dan kebencian di antara kalian dan berselisihnya hati-hati kalian.
Karena berselisihnya mereka dalam shaf adalah perselisihan secara dzahir yang
akan menjadi sebab perselisihan secara batin. (Syarah Shahih Muslim, 4/157)
Oleh:
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Sumber : http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/menata-shaf-sunnah-rasul-yang-terabaikan/