Tolongshareya
– Sahabat tolongshareya Pernahkah anda sedang shalat jamaah atau tarawih
misalnya, tiba-tiba entah karena sakit atau apa ingin keluar dari shaf anda
yang berada ditengah. Nah, bagaimana
anda melewati jamaah lain yang sedang shalat? Bagaimana hukumnya?
Mengenai
hal ini perlu dirinci pembahasannya terkait beberapa keadaan. Berikut
penjelasannya dikutip dari muslim.or.id oleh Ustadz Aris Munandar, S.Sos.,
M.Pi.
Shalat Dengan
Menggunakan Sutrah
Apa
itu sutrah?
Sutrah
berarti pembatas, yang dimaksud dengan sutrah adalah pembatas yang diletakkan
di depan mushalli untuk menjaga shalatnya dari kekurangan atau pemutusan.
Tidak
ada perbedaan di antara para ulama bahwa lewat di depan sutrah hukumnya tidak
mengapa dan lewat di tengah-tengah antara orang yang shalat dengan sutrahnya
hukumnya tidak boleh dan orang yang melakukannya berdosa (Mausu’ah Fiqhiyyah
Kuwaitiyyah, 24/184).
Berdasarkan
hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
“Jika
salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah
terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia
dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan
keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505)
Juga
sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لَا تُصَلِّ
إِلَّا إِلَى
سُتْرَةٍ، وَلَا
تَدَعْ أَحَدًا
يَمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْكَ، فَإِنْ
أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛
فَإِنَّ مَعَهُ
الْقَرِينَ
“Janganlah
shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu,
jika ia enggan dilarang maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya
bersamanya ada qarin (setan)” (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani
dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist
ini terdapat dalam Shahih Muslim).
Sahabat
tolongshareya dengan demikian kita tidak boleh lewat diantara orang yang shalat
dengan sutrahnya, hendaknya kita mencari jalan di luar sutrah, atau lewat
belakang orang yang shalat tersebut, atau mencari celah antara orang yang
shalat, atau cara lain yang tidak melanggar larangan ini.
Shalat Tanpa
Menggunakan Sutrah
Demikian
juga terlarang lewat di depan orang yang sedang shalat walaupun ia tidak
menghadap sutrah, orang yang melakukannya pun berdosa. Berdasarkan hadits dari
Abu Juhaim Al Anshari, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ
الْمَارُّ بَيْنَ
يَدَيِ الْمُصَلِّي
مَاذَا عَلَيْهِ
مِنَ الإِْثْمِ
لَكَانَ أَنْ
يَقِفَ أَرْبَعِينَ
خَيْرًا لَهُ
مِنْ أَنْ
يَمُرَّ بَيْنَ
يَدَيْهِ
“Andaikan
seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya
perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari
pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)
Namun
para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan lafadz بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي
(di depan orang yang shalat) yaitu berapa batasan jarak di depan orang shalat
yang tidak dibolehkan lewat? Dalam hal ini banyak pendapat yang dinukil dari
para ulama:
a.
Tiga hasta dari kaki orang yang shalat
b.
Sejauh lemparan batu, dengan lemparan yang biasa, tidak kencang ataupun lemah
c.
Satu langkah dari tempat shalat
Kembali
kepada ‘urf, yaitu tergantung pada anggapan orang-orang setempat. Jika sekian
adalah jarak yang masih termasuk istilah ‘di hadapan orang shalat’, maka itulah
jaraknya.
Antara
kaki dan tempat sujud orang yang shalat
Yang
dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah antara kaki dan
tempat sujud orang yang shalat. Karena orang yang shalat tidak membutuhkan
lebih dari jarak tersebut, maka ia tidak berhak untuk menghalangi orang yang
lewat di luar jarak tadi (Syarhul Mumthi’, 3/246).
Dengan
demikian jika ingin lewat di depan orang yang shalat yang tidak menggunakan
sutrah hendaknya lewat diluar jarak sujudnya, dan ini hukumnya boleh.
Shalat
Berjama’ah
Pada
tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa makmum
dalam shalat jama’ah tidak disunnahkan untuk membuat sutrah.
Sutrah
imam adalah sutrah bagi makmum. Namun apakah boleh seseorang lewat di depan
para makmum? Atau bolehkah lewat diantara shaf shalat jama’ah? Dalam hal ini
ada dua pendapat diantara para ulama :
Hukumnya
tidak boleh, berdasarkan keumuman larangan dalam hadits Abu Juhaim. Selain itu
gangguan yang ditimbulkan oleh orang yang lewat itu sama baik terhadap orang
yang shalat sendiri maupun berjama’ah.
Hukumnya
boleh berdasarkan perbuatan Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, sebagaimana
yang diriwayatkan dalam Shahihain, Ibnu Abbas berkata,
قْبَلْتُ رَاكِبًا
عَلَى حِمَارٍ
أَتَانٍ وَأَنَا
يَوْمَئِذٍ قَدْ
نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ
، وَرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي
بِالنَّاسِ بِمِنًى
إِلَى غَيْرِ
جِدَارٍ ،
فَمَرَرْتُ بَيْنَ
يَدَيْ بَعْضِ
الصَّفِّ ،
فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ
الْأَتَانَ تَرْتَعُ
، وَدَخَلْتُ
فِي الصَّفِّ
فَلَمْ يُنْكِرْ
ذَلِكَ عَلَيَّ
أَحَدٌ
“Aku
datang dengan menunggang keledai betina. Ketika itu aku hampir menginjak masa
baligh. Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap ke dinding.
Maka aku lewat di depan sebagian shaf. Kemudian aku melepas keledai betina itu
supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak
ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku itu” (HR. Al Bukhari 76, Muslim
504).
Perbuatan
sahabat Nabi, jika diketahui Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan banyak
sahabat namun tidak diingkari, maka itu adalah hujjah (dalil). Dan ini
merupakan sunnah taqririyyah, sunnah yang berasal dari persetujuan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap sebuah perkataan atau perbuatan. Sehingga
sunnah taqririyyah ini merupakan takhsis (pengkhususan) dari dalil umum hadits
Abu Juhaim.
Yang
shahih, boleh lewat di depan para makmum shalat jama’ah, yang melakukan hal ini
tidak berdosa dengan dalil perbuatan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma. Namun
andaikan bisa menghindari atau meminimalisir hal ini, itu lebih disukai. Karena
sebagaimana jika kita shalat tentu kita tidak ingin mendapatkan gangguan
sedikit pun, maka hendaknya kita pun berusaha tidak memberikan gangguan pada
orang lain yang shalat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
“tidak
beriman seseorang sampai ia menyukai sesuatu ada saudaranya sebagaimana ia
menyukai sesuatu itu ada pada dirinya” (lihat Syarhul Mumthi, 3/279).
Shalat
Di Masjidil Haram Atau Tempat Yang Banyak Dilalui Orang
Apakah
boleh lewat di depan orang yang shalat di Masjidil Haram? Sebagian ulama
membolehkan secara mutlak karena darurat dikarenakan banyaknya dan merupakan
tempat lalu lalangnya orang-orang dalam rangka thawaf dan lainnya. Syaikh
Shalih Al Fauzan menyatakan: “demikian juga jika seseorang shalat di Masjidil
Haram, maka tidak perlu menghadang orang yang lewat di depannya, karena
terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Mekkah,
orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Khamsah” (Mulakhash Fiqhi, 145).
Sebagian
lagi tetap melarang berdasarkan keumuman hadits Abu Juhaim. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Tidak ada perbedaan hukum lewat di depan orang
shalat baik di Mekkah maupun di selain Mekkah. Inilah pendapat yang shahih.
Tidak ada hujjah bagi yang mengecualikan larangan ini dengan hadits
“Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat (di Mekkah), orang-orang melewati
beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau”
karena
dalam hadits ini tedapat perawi yang majhul. Adanya perawi majhul adalah
kecacatan bagi hadits. Andaikan hadits ini shahih pun, maka kita bawa kepada
kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di tempat orang
ber-thawaf.
Dan
orang yang thawaf itu adalah orang-orang yang lebih berhak berada di tempat
thawaf. Karena tidak ada tempat lain selain ini. Sedangkan orang yang shalat,
dia bisa shalat di tempat lain. Adapun orang yang thawaf tidak memiliki tempat
lain selain sekeliling Ka’bah, sehingga ia lebih berhak. Demikian andaikan
haditsnya shahih.
Oleh
sebab itu Imam Al Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya memberi judul bab
“sutrah di Mekkah dan tempat lainnya”. Artinya, menurut beliau hukum sutrah di
Mekkah dan tempat lain itu sama” (Syarhul Mumthi, 3/248).
Dari
penjelasan beliau ini juga dapat dipahami bahwa jika seseorang shalat di tempat
melakukan thawaf maka boleh dilewati, karena orang yang thawaf lebih berhak
untuk berada di tempat thawaf.
Yang
paling bagus dalam masalah ini adalah rincian yang dipaparkan oleh Ibnu ‘Abidin
rahimahullah dan sebagian ulama Malikiyyah, yaitu sebagai berikut:
1.
Jika orang yang shalat tidak bersengaja shalat di tempat orang-orang lewat, dan
terdapat celah yang memungkinkan bagi orang yang lewat untuk tidak lewat di
depan orang shalat, maka orang yang lewat tadi berdosa. Sedangkan yang shalat
tidak berdosa.
2.
Jika orang yang shalat sudah tahu dan sengaja shalat di tempat orang-orang
biasa lewat, sedangkan tidak ada celah yang memungkinkan untuk lewat selain
melewati orang shalat, maka dalam hal ini orang yang shalat berdosa. Adapun
orang yang lewat tidak berdosa.
3.
Jika orang yang shalat sudah tahu dan sengaja shalat di tempat orang-orang
biasa lewat, dan ada celah yang memungkinkan untuk lewat, maka keduanya
berdosa.
4.
Jika orang yang shalat tidak bersengaja shalat di tempat orang-orang lewat dan
tidak ada celah untuk lewat, maka boleh lewat dan keduanya tidak berdosa (lihat
Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/185).
Sahabat
tolongshareya perlu dicatat bahwa rincian ini berlaku dalam keadaan tempat
shalat yang ramai orang berlalu-lalang dan banyak orang melakukan shalat
semisal Masjidil Haram.
Adapun
di tempat biasa yang tidak terlalu banyak orang lalu-lalang, maka tidak ada
alasan untuk melewati orang yang shalat walaupun andaikan tidak ada celah dan
ia ada keperluan untuk melewatinya.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara orang
yang punya keperluan untuk lewat atau pun tidak punya keperluan. Karena ia
tidak punya hak untuk lewat di depan orang yang shalat. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda
لَوْ يَعْلَمُ
الْمَارُّ بَيْنَ
يَدَيِ الْمُصَلِّي
مَاذَا عَلَيْهِ
مِنَ الإِْثْمِ
لَكَانَ أَنْ
يَقِفَ أَرْبَعِينَ
خَيْرًا لَهُ
مِنْ أَنْ
يَمُرَّ بَيْنَ
يَدَيْهِ
“Andaikan
seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya
perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari
pada lewat”
arba’in
di sini artinya 40 tahun (Syarhul Mumthi’, 3/247). Maka yang patut dilakukan
adalah menunggu orang yang shalat selesai.
Ibnu
Rajab mengomentari hadits ini: “ini adalah dalil bahwa berdirinya seseorang
selama 40 tahun untuk menunggu adanya jalan agar bisa lewat, itu lebih baik
daripada lewat di depan orang yang shalat jika ia tidak menemukan jalan lain”
(Fathul Baari Libni Rajab, 4/80).
Apakah
Shalat Menjadi Batal Dengan Adanya Sesuatu Yang Lewat?
Shalat
bisa menjadi batal jika ia dilewati oleh wanita, atau keledai, atau anjing.
Adapun jika yang lewat adalah selain tiga hal ini, maka tidak batal. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ،
الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ،
وَالْكَلْبُ، وَيَقِي
ذَلِكَ مِثْلُ
مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Lewatnya
wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan
menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl” (HR. Muslim 511)
anjing
yang dimaksud adalah anjing hitam sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain:
إذا صلَّى
الرَّجلُ وليسَ
بينَ يدَيهِ
كآخرةِ الرَّحلِ
أو كواسطةِ
الرَّحلِ قطعَ
صلاتَه الكلبُ
الأسودُ والمرأةُ
والحمارُ
“Jika
salah seorang dari kalian shalat, dan ia tidak menghadap sesuatu yang tingginya
setinggi ujung pelana atau bagian tengah pelana, maka shalatnya bisa dibatalkan
oleh anjing hitam, wanita, dan keledai” (HR. Tirmidzi).
Batalnya
shalat dalam hal ini berlaku baik jika yang shalat memakai sutrah, lalu wanita,
atau keledai, atau anjing lewat di antara ia dan sutrahnya, maupun tanpa sutrah
namun mereka lewat di daerah sujud orang yang shalat. Namun tidak berlaku untuk
makmum shalat jama’ah karena sutrah imam adalah sutrah bagi makmum, dan makmum
tidak disyari’atkan untuk menahan orang yang lewat di depannya. Sehingga jika
wanita, atau keledai, atau anjing lewat diantara shaf shalat jama’ah maka tidak
membatalkan shalat.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa secara mutlak shalat tidak bisa dibatalkan dengan
lewatnya sesuatu, sedangkan hadits di atas maksudnya batal pahala atau
kesempurnaan shalatnya. Tentu saja ini merupakan ta’wil yang tidak memiliki
dasar. Dan petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sebaik-baik
petunjuk.
Al
Lajnah Ad Daimah menyatakan: “yang shahih, lewatnya hal-hal yang disebutkan itu
di depan orang yang shalat atau antara ia dan sutrahnya itu membatalkan
shalatnya. Karena terdapat hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: ‘Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu
dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl‘.
Riwayat Imam Muslim. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat tidak bisa batal
dengan hal-hal tersebut. Namun pahalanya berkurang karena berkurangnya seluruh
kekhusyukannya atau sebagian kekhusyukannya. Namun yang nampaknya lebih tepat
adalah apa yang terdapat dalam hadits, sedangkan pendapat yang kedua tadi
merupakan ta’wil yang tidak didasari oleh dalil” (Fatawa Lajnah Daimah, no.
6990 juz 7 hal 82).
Tapi,
jika wanita, anjing hitam atau keledai lewat di depan orang yang shalat,
sedangkan orang yang shalat ini sudah mencari tempat yang aman dari orang yang
lewat, sudah menghadap sutrah, atau ia pun sudah berusaha menghadang dan
menahan yang lewat tadi dengan sungguh-sungguh namun tetap saja bisa lolos,
maka shalat tidak batal.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan: “(jika wanita lewat) secara zhahir
shalatnya batal, dan wajib diulang. Namun menurut saya, ada sesuatu yang kurang
tepat dalam pendapat ini. Karena seorang yang melakukan shalat, ketika ia sudah
melakukan apa saja yang diperintahkan oleh syari’at, lalu datang perkara yang
bukan atas kehendaknya, dan ini pun bukan karena tafrith (lalai) ataupun
tahawun (menyepelekan), bagaimana mungkin kita mengatakan ibadahnya batal
karena sebab perbuatan pihak lain? Karena yang berdosa adalah yang lewat.
Adapun jika hal itu terjadi karena menyepelekan atau lalai sebagaimana
dilakukan kebanyakan orang, maka shalatnya batal tanpa keraguan” (Syarhul
Mumthi’, 3/239). Inilah pendapat yang kami anggap sebagai pendapat yang lebih
pertengahan dalam hal ini.
Mungkin
ada yang bertanya, “bagaimana dengan wanita? apakah shalat seorang wanita batal
jika dilewati wanita lain?”. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah
ditanya pertanyaan serupa, beliau menjawab: “iya, batal. Karena tidak ada
perbedaan hukum antara lelaki dan wanita kecuali ada dalil yang menyatakan
berbeda hukumnya. Namun jika wanita tersebut lewat di luar sutrah jika ada
sutrah, atau di luar sajadah jika shalatnya pakai sajadah, atau di luar area
sujud jika tidak pakai sutrah dan sajadah, maka ini tidak mengapa dan tidak
membatalkan” (Majmu’ Fatawa war Rasail Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, 13/318).
Semoga
bermanfaat.
Wajibbaca