Tolongshareya
– Sahabat tolongshareya semua orang tua tentu ingin kelak anak-anaknya menjadi
orang yang sukses, sehingga tidak sedikit orang tua yang rela berkorban
mati-matian demi anaknya menonjol dilingkungan sekitarnya.
"Kalau
anakku sih masuk universitas negeri, ya!"
"Anakku
masuk kelas akselerasi, dong!"
"Deuh,
anakku udah bisa melakukan banyak hal!"
Sahabat
tolongshareya, kerap kali sebagai orangtua, kita kadang tergoda untuk show off
atau memamerkan keberhasilan anak kita entah itu dari sisi pendidikan,
pekerjaan, bahkan hafalan. Apapun memang bisa jadi bahan pamer, sih. Padahal
kita sendiri sebenarnya juga sadar bahwa hal tersebut lebih banyak mudharatnya
daripada manfaat.
Beberapa
mudharat ketika kita hobi memamerkan anak misalnya:
1. Menimbulkan rasa iri dari orang yang
mendengarnya meskipun itu hanya dalam hati
Ada
banyak cara untuk menginspirasi orang lain yang tidak terkesan pamer. Orang
lain justru akan muak jika kita selalu bercerita "kalau anakku ... kalau
anakku ..." Kapan kita bertanya tentang anak orang lain kalau begitu?
Bukankah dunia ini isinya tidak hanya kita saja? Seperti misalnya, daripada
selalu bercerita anak kita rangking satu dan masuk sebagai siswa berprestasi
akan lebih baik jika langsung buka les-lesan gratis bagi anak-anak sekitar
rumah yang kurang beruntung. Yang kedua lebih terasa nyata dibandingkan yang
pertama. Ibarat pohon, sikap yang pertama adalah pohon rimbun tak berbuah
sedangkan yang kedua berbuah lebat. Mana yang lebih bermanfaat? Yang hanya sekadar
untuk pamer-pameran semata atau yang bisa bermanfaat untuk sekitar?
2.
Justru menjadi beban untuk diri kita sendiri
Tidak
selamanya anak kita berada pada posisi puncak, ada kalanya mungkin di tengah
atau di bawah. Tidak selamanya anak kita mendapatkan peringkat pertama, ada
kalanya mendapat peringkat belasan atau bahkan tidak sama sekali. Wajar-wajar
aja sih sebenarnya, namanya juga hidup, jatuh bangun kan biasa. Tapi hal
tersebut akan menjadi tidak biasa bagi yang suka pamer karena ia akan terus berusaha
mempertahankan posisi teratas entah dengan cara apa saja agar tidak jadi bahan
olokan. Coba jika tidak biasa pamer, mungkin tidak akan setertekan itu.
3. Di atas langit masih ada langit
Kalau
toh anak kita memang cerdas, masih banyak di luar sana yang jauh lebih cerdas
dan sikap orang tuanya tidak lebay. Seperti kata pepatah, "di atas langit
masih ada langit,"
4. Kurang menghargai orang lain yang
"berbeda"
"Anakku
dong masuk jurusan itu. Yang masuk jurusan itu emang yang pintar-pintar,"
"Kok
masuk sekolah itu, emang ada masa depannya?"
"Kok
masuk jurusan anu, enggak diterima di jurusan itu ya?"
Setiap
anak itu unik dan berbeda. Sebenarnya, setiap orangtua sudah paham ini, sih.
Hanya saja dalam praktiknya, orangtua seolah masih sulit menerima yang berbeda,
salah satunya dengan merasa apa yang dipilih anaknya jauh lebih baik daripada
apa yang dipilih anak orang lain. Sikap fanatik seperti ini hanya akan semakin
menunjukkan bahwa orangtua masih bersikap kekanak-kanakan.
Sahabat
tolongshareya, mengutip kata-kata Einstein (dengan sedikit edit) bahwa setiap
anak itu istimewa dan jenius, namun jika anak yang ahli berenang dan kurang
ahli berhitung dipaksa untuk berhitung sebagai tolak ukur kecerdasan, maka
selamanya anak yang memiliki potensi di bidang renang itu akan menganggap
dirinya tidak bisa apa-apa. So poor.
Semoga
kita bisa menjadi orangtua yang bijak. Anak kita cerdas, anak teman kita juga
cerdas, di bidang masing-masing yang nanti bisa dikolaborasikan, bukan
dibandingkan.
Ummi-online